Rabu, 26 November 2014

Terimakasih Untuk Semua




Malam itu, “kampung” el-Wahah Tunisia terasa dingin sekali....
Sedingin asa karena jauh dari orang-orang tercinta..
Rindu kehangatan bersama anak dan istri..
Nana Najibah, teman hidup duniawi-ukhrawi..
Tawa dan tangisan Marmara, putri kisah Turki..

Hadziq dan Althaf yang suka memanjakan diri..
Juga “kakak” Imdad, penerus estafet jihad suci...  

Namun demikian, aku harus bangkit dari tempat tidur ini..

Tuk berkeluh kesah kepada Tuhan yang Maha Qodrati...
Zat yang Mengetahui segalanya..
yang besar dan yang kecil...
yang jauh dan yang dekat..
yang halus dan yang kasar...
yang di atas dan yang di bawah...
yang dlahir dan yang batin...
Semuanya tunduk dalam kekuasaan-Nya.
Dan bertasbih mengagungkan kesucian-Nya...

Diriku hanyut dalam relaksasi sejati..
Mengaji  hakikat diri..
Yang sering kali terbuai dengan keindahan duniawi..
Keindahan yang membuat lupa diri..
Lupa  makna hidup dan kehidupan..
Lupa  kebesaran Tuhan...

Allah, Tuhan semesta..
Aku mohon ampunan-Mu..
Terlalu besar beban dosa ini..
Dosa waktu kana-kanak, belum tahu apa-apa..
Dosa di masa remaja....
Dosa ketika menginjak dewasa...
Dan dosa di usia senja..

Tuhan..
Hanyalah samudera belas kasih-Mu...
Tumpuan harapanku ..
Harapan keluargaku...
Harapan istriku, serta anak-anakku tercinta..
Harapan almarhum ayahanda..
Dan juga ibunda nan jauh di sana..
Harapan tuk menjadi hamba yang taat beribadah kepada-Mu..
Mensyukuri segala nikmat-Mu..
Yang Engkau berikan kepada kami..
Dulu, sekarang, dan yang akan datang....

Tuhan...
Aku berhutang budi kepada banyak orang..
Kedua orang tua yang melahirkan dan mendidik kami..
Nabi Muhammda saw, pencerah akal dan hati sanubari..
Keluaraga Nabi, para sahabat dan Tabi’in..
Muslimin, muslimat sejati..  
Dan seluruh ulama,  pewaris Nabi...  
Guru-guruku yang tulus ikhlas memberi...
Ilmu nafi’ dan uswah hasanah di siang dan malam hari...
Keluargaku, tetanggakau, sahabat-sahabatku semuanya...
Dan orang-orang telah berbuat baik kepada kami...
Di masjid, di rumah, di kantor, di jalan, dan di mana saja..
Terimakasih atas kebaikannya..
Bantuan, keramahan dan juga senyuman..

Tuhan...
Ampunilah dosa mereka semua...
Mudahkanlah segala urusannya..
Dan kumpulkanlah kami bersama mereka
Kelak di surga bersama Nabi Muhammad al-Musthafa..
Dalam Ridho dan belas-kasih-Mu..
Amin...

Tunisia, Rabu, 26 Nopember 2014.  

















Selasa, 04 November 2014

Memahami Jati Diri Tunisia Dibalik Puing-Puing Kerajaan Chartage


 Memahami Jati Diri Tunisia
Dibalik Puing-Puing Kerajaan Carthage
Hari Kesepuluh di Tunisia, Rabu, 29 Oktober 2014



Tunisia kaya dengan peninggalan-peninggalan bersejarah, diantaranya adalah puing-puing reruntuhan kerajaan Kartago (Carthage), berdiri sekitar tahun 814 SM. Kerajaan Kartago yang terletak di Tunisia menjadi pusat  Kerajaan Romawi di Selatan Mediterania. Tempat inilah yang menjadi pilihan kunjungan saya bersama peserta POSFI yang lain pada hari Rabu, 29 Oktober 2014. Di tempat tersebut terdapat puing-puing taman (hammamat) termegah yang dimiliki raja-raja Romawi. Ia dibangun antara tahun 145 M dan 165 M. Dalam sejarah disebutkan, bahwa hammamat Carthage dihancurkan oleh kerajaan Vandal, dan dibiarkan terkubur dalam tanah, dan baru disingkap dari timbunan tanah pada tahun 1945. Selain hammaat, di Carthage terdapat Gereja tua, dibangun pada abad ketujuh masehi, dan rumah “adat” Romawi (al-manazil al-Rumaniyyah/villas), serta moseum benda-benda bersejarah kerajaan Romawi.
Banyak hal yang dapat diambil manfaatnya dari kunjungan ke tempat bersejarah tersebut, yaitu antara lain:
1. Negara tidak boleh mengabaikan fakta sejarah, apalagi memutarbalikkan dan menghancurkannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarah, sehingga tidak tercerabut dari akar jati dirinya.
2. Peninggalan bersejarah menyimpan seribu makna yang dapat ditangkap oleh siapapun yang mau memaknainya, dan kemudian makna-makna tersebut dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sekarang dan akan datang. Oleh karena itu, tidak ada seseorangpun yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya orang yang berhak memberikan interpretasi terhadap benda bersejarah tersebut. Adalah suatu hal yang wajar  kalau masing-masing  orang yang mendatangi tempat bersejarah, termasuk Carthage,  akan mendapatkan kesan atau makna yang berbeda dengan makna atau kesan yang ditangkap oleh orang lain.
3. Kalau warga negara Tunisia bangga dengan Carthage sebagai bukti sejarah panjang negaranya, maka kita sebagai warga negara Indonesia seharusnya juga bangga dengan sejarah bangasa kita, seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan lainnya. Namun pertanyaanya kemudian adalah, sudahkah negara kita, tepatnya pemerintah, telah melakukan  pelestarian puing-puing bersejarah berkaitan dengan napak tilas kerajaan-kerajaan besar di Indonesia? Kalau di Carthage Tunisia pengunjung disuguhi bekas peti raja-raja Romawi, lalu dimanakah gerangan orang Indonesia mendapati tempat  patih Gajah Mada beristirahat selama-lamanya?. Sampai saat ini, yang dapat menjawab kegelisahan tersebut hanya mendiang Patih Gajah Mada sendiri, kalau bukan “rumput yang bergoyang”.

Kenangan "Manis" di Maktabah Tunis. Memburu Buku Maqashid al-Syari'ah


Kenangan “Manis” di Maktabah Tunis
Memburu Buku Maqashid al-Syari’ah.
Catatan Hari Ketujuh di Tunisia, Sabtu, 25 Oktober 2014

  
Salah satu tugas yang harus diselasaikan oleh peserta POSFI 2014 adalah menulis buku referensi dengan rujukan mutakhir. Untuk memenuhi tugas tersebut, saya bersama peserta POSFI yang lain, pada hari Sabtu, 25 Oktober 2014 mendatangi beberapa toko buku di ibu kota Tunisia. Ibu kota pada hari itu tampak ramai dan sedikit terasa tegang. Bagaiman tidak, di setiap sudut kota, para polisi dengan persenjataan lengkap selalu mengintai dan mengawasi setiap warga Asing yang mondar-mandir di sekitar perkantoran dan fasilitas umum. Pemandangan tersebut terjadi karena Tunisia esok harinya, Minggu, 26 Oktober 2014, akan menyelenggarakan pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif  kedua setelah revolusi tahun 2011 lalu.

Dengan sedikit khawatir, saya dan teman-teman berjalan kaki menelusuri pasar dan  pertokoan menuju toko buku. Pilihan pertama adalah toko buku bekas, dengan harapan dapat memperoleh buku-buku berkualitas dengan harga terjangkau. Sudah maklum, harga barang-barang di Tunisia, termasuk buku, dua kali lipat harga di Indonesia. Namun sayang, di toko buku bekas, saya tidak mendapati buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan penulisan buku atau jurnal dalam bidang saya, yaitu maqashid al-syari’ah. Mas Dede, tim POSFI Tunisia, dengan sabar kemudian menunjukkan kepada saya dan teman-teman tempat penjualan buku-buku kontemporer tentang sosial- keagamaan. Toko buku tersebut bernama “Maktabah Tunis” (toko buku Tunis
ia).
Baru saja saya melangkah ke pintu masuk, ternyata di samping kanan dari toko tersebut, berjajar buku-buku dengan judul bernuansa maqashi al-syariah. Sebut saja misalnya, antara lain: Naqd Nadlariyat al-Naskh, Bahts fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah, karya Jasir ‘Audah; Maqashid al-Maqashid, al-Ghayat al-‘Ilmiyyah wa al-‘Amaliyat al-Maqashid al-Syar’iyyah, karya Ahmad al-Raysuni; Su`al al-Tadbir Ru`a Maqashidiyyah fi al-Ishlah al-Madaniy, karya Musfir bin ‘Ali al-Qahthaniy; al-Wa’y al-Maqashidiy Qira`ah Mu’ashirah li al-‘Amal bi Maqashid al-Syari’ah fi Manahi al-Hayat, juga karya Musfir bin ‘Ali al-Qahthaniy; al-Ijtihad al-Maqashidi Min al-Tashawwur al-Ushuliy Ila al-Tanzil al-‘Amali, karya Jasir ‘Awdah; al-Ijtihad al-Nash, al-Waqi’, al-Mashlahah, karya Ahmad al-Raisuni; Maqashid al-Syari’ahal-Islamiyyah wa Makarimuha, karya ‘Alal al-Fasi; Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Mabahits al-Lughawiyyah Ru`yah fi al-Muwazanah Bayn Muqtadhayat al-Lisan wa Maqashid al-Syari’ah, karya al-Basyir Syammam; dan masih berpuluh-puluh judul lainnya tentang maqashid al-syari’ah.

Ketika saya mengambil semua buku tersebut, penjaga toko tersebut mendekati saya seraya bertanya, “anta mutakhashshis fi maqashid al-syari’ah?” (anda fokus mendalami maqashid al-syari’ah?). Dengan sumringah, saya jawab, “betul, dan saya mencari buku-buku yang berkaitan dengannya”. Kemudian dia bilang, “huna markaz kutub maqashid al-syari’ah” (di sini pusat buku-buku maqashid al-syari’ah). Tanpa berpikir panjang lebar tentang harga dan sebagainya, saya membeli buku-buku tersebut. Dalam hati saya berkata, “bayangan saya, toko buku yang ditunjukkan oleh mas Dede tidak sebesar seperti yang saya datangi ini,”

Di bagian lain dari maktabah Tunis, juga tersedia buku-buku disiplin lainnya, seperti pemikiran tentang tafsir, sejarah, filsafat, hadits, bahasa, budaya, dan lainnya. Andai saja barang bawaan dalam bagasi pesawat tidak dibatasi dengan 30 kg/orang,  tentu saya akan membeli lebih banyak lagi buku-buku yang terjual di toko tersebut. Karena saya yakin, buku-buku tersebut masih langka, --untuk tidak memastikan tidak ada, di Indonesia.