Sabtu, 01 November 2014

Belajar Hidup dan Kehidupan di Tunisia

Belajar Hidup dan Kehidupan di Tunisia
Hari Kedua di Tunisia
Selasa, 21 Oktober 2014

Pada hari kedua di Tunisia, tepatnya Selasa, 21 Oktober 2014, saya dan peserta POSFI yang lain  melakukan orientasi lingkungan sekitar apartemen Malek, tempat peserta POSFI tinggal selama di Tunisia. Beberapa orang yang kami temui, mereka menyambutnya dengan ramah dan sopan layaknya orang Jawa. Mereka dengan senang hati menjawab salam, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami berkaitan dengan hal-hal yang sekiranya menjadi kebutuhan kami sehari-hari, seperti tentang alamat masjid, tempat-tempat belanja, rumah sakit, dan lainnya.
Dari orientasi lingkungan tersebut, saya tahu bahwa mayoritas masyarakat Tunisia, khususnya yang tinggal di sekitar apartemen Malek dapat berbicara dengan bahasa Arab, walaupun banyak kata yang terasa asing bagi saya. Korek api, misalnya, selama ini saya menyebutnya dalam bahasa Arab dengan “kibrit”. Ketika saya menanyakan pada salah seorang pemilik toko dengan kalimat: “hal huna kibrit?”, (di sini ada korek api?), dia tidak bisa memahami pertanyaan tersebut, hingga saya menyempurnakannya dengan kalimat, “kibrit li al-tadkhin aw al-babur” (korek api untuk merokok atau menyalakan kompor), baru dia paham dan mneyebut korek api dengan “barqi”.

Mayoritas masyarakat Tunisia adalah muslim dan bermadzhab Maliki. Maka tidaklah mengherankan kalau di Tunisia saya dapati banyak praktek ibadah yang berbeda dengan kebiasaan saya di Indonesia. Sebut saja misalnya, dalam satu masjid tidak boleh ada dua jamaah shalat dalam satu waktu shalat. Seseorang yang terlambat shalat berjamaah dengan seorang imam masjid (imam masjid di Tunisia diangkat oleh Pemerintah/pegawai negeri, dengan kualifikasi tertentu), dia harus shalat munfarid (sendirian, tanpa jama'ah).Menurut salah seorang jama'ah yang semapat saya tanyakan mengenahi larangan tersebut, dia menjawab, "umat Islam harus dalam satu jama'ah, tidak boleh berpecah belah". Untuk memberikan peluang bagi masyarakat di sekitar masjid untuk berjama'ah, disediakan jeda waktu antara adzan dan iqamah shalat selama 25 menit untuk shalat shubuh, 15 menit untuk shalat magrib, dan seterusnya. 

Hal lain yang cukup unik di Tunisia adalah, waktu pelaksanaan shalat Jum'at antara satu masjid dengan yang lain tidak sama. Ada masjid yang melaksanakan shalat jum'at di awal waktu, da ada yang melaksanakannya di akhir waktu dluhur. Dengan demikian, seseorang dapat memilih antara shalat jum'at yang dilaksanakan di awal waktu, atau di masjid lain yang melaksanakannya di akhir waktu. enak kan...?

Ucapan  "salam"  (bukan "Assalamu'alaikum") adalah sesuatu yang biasa disampaikan oleh  masyarakat Tunisia  ketika bertemu dengan orang lain. Jawabannya juga dengan kata-kata "salam". Saya  sempat berfikir, jangan-jangan tradisi menyingkat kalimat "Assalamu'alaikum" dengan kata "salam" saja adalah bagian dari sekularisasi Tunisia oleh penjajah Perancis dan dilanjutkan oleh para pemimpin Tunisia sesudahnya, khususnya sebelum revolusi 2011. Sekedar untuk diketahui, sebelum revolusi, pemerintah Tunisia melarang setiap aktifitas keagamaan, seperti mengadakan pengajian, majlis taklim di masjid, madrasah keagamaan, dan lainnya. bahkan universitas Zaituna, yang konon dikenal sebagai perguruan tinggi tertua di dunia, juga mengalami penutupan aktifitas perkuliahan.

Makanan pokok orang Tunisia adalah gandum dan dibuat roti dengan berbagai rasa dan ukuran. Biasanya dimakan dengan keju, tomat, zantun, telur, dan timun. Persis seperti makanannya orang-orang Turki. Bagi lidah orang Indonesia, apalagi orang Jawa-Madura, menu makanan tersebut sebenarnya mudah saja untuk beradaptasi. tapi dasar orang Indonesia, kalaupun sudah makan  tiga atau emapat potong roti (satu potong dabus/roti Tunisia cukup untuk mengenyangkan satu orang), belum juga merasakan kenyang sebelum makan nasi.

Mata uang Tunisia adalah Dinar Tunisia (DT), dan terdiri dari pecahan 20 DT, 10 DT, 5 DT, 2 DT,1 DT, ½ DT, 100 Milim, dan 50 Milim. Satu Dinar Tunisia setara dengan Rp. 7000,-. Uang pecahan 20 DT 10 DT, 5 DT terbuat dari kertas, sedangkan lainnya berupa uang logam, layaknya mata uang Rupiah Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar